Hana
-Part3-
“Ray!”
Seru Hana memanggil.
“Apa?” Respon ku dengan tetap
memandang langit.
“Ray, gue habis ini pulang aja ya.
Gue lelah, ngga tahan sama semua nya” Ujar Hana lirih. Bahkan jika dibandingkan
dengan kicauan burung, suara Hana terkalahkan.
“Pulang? Nunggu sejam lagi aja lah.
Gue masih pen lihat sunrise nih!”
“Iya, tapi bukan pulang kerumah”
Tubuhnya bangkit dan terduduk dengan tegap disampingku.
“Lah, terus pulang kemana dong?”
Ujarku bingung dan ikut terduduk.
Hana menghembuskan nafas panjang,
menoleh sejenak padaku sebelum akhirnya mengangkat telunjuk dan mengarahkan ke
suatu tempat.
“Disana” Kepala nya kini menatap
lurus kesana, keujung danau ini.
“Ha?” Aku bingung, terpaku melihat
ujung danau ini. Menatapnya sepersekian detik hingga seorang menepuk pundak dan
menyadarkan ku akan keadaaan.
“Ra!” Seorang memanggil, namun aku
tetap menatap ujung danau ini sebelum semua gelap dan penglihatan ku kian
memudar.
“Ra, bangun! Sudah subuh” Suara seorang
menagetkan ku. Dengan segera aku terduduk, mengarahkan pandangan kesegela arah.
Kini aku tengah berada di kamarku.
“Ha?” Aku bingung. Apakah tadi itu hanya mimpi? Tapi terasa
begitu nyata! Apa Hana sudah pulang?. Jika benar hari ini Hana pulang, aku
akan segera kesana dan membawakan coklat untuknya. Aku ingin segera menemuinya.
Drrttt. Handphone ku bergetar. Ada
whatsapp messenger masuk.
Kak Ra, Kakak
meninggal pukul dua malam T.T –Raja-
Pukul dua? Bukankan aku tadi
bersama Hana? Oh tidak, lebih tepat, bermimpi bersama Hana?
Apa maksud tadi itu?
Ha? Loh ja?
Innalillahi, ya Allah.
Beneran kak, aku
ngga bohong.
Air mataku menetes tanpa henti. Aku
belum sempat mennjenguknya dirumah sakit, kami belum sempat bertemu untuk
terakhir kalinya. Bahkan aku tak sempat mengantarnya kerumah peristirahatanya.
Maafkan aku Hana, maafkan semua kesalahan ku pada mu.
Kini aku mulai menjalani hari tanpa
kehadiran Hana. Hana benar-benar telah pergi untuk selamanya. Aku begitu rapuh,
sungguh separuh jiwa ku terasa pergi meninggalkan ku. Tak ada lagi lilin yang
akan menyala disaat aku berada dikegelapan.
Semua terasa hampa tanpa adanya
Hana. Mengapa semua terjadi begitu cepat. Mengapa tuhan merencanakan akhir
cerita ku dan Hana seperti ini. Mengapa semua ini terasa begitu pahit, terasa
begitu perih, dan terasa begitu sakit.
“Hana, gue rindu lo. Kapan kita bisa
bertemu lagi? Kenapa lo cepet banget perginya? Kenapa lo tega pergi tanpa
sepatah kata pun? Gue bener-bener rindu lo Han!” Ujarku pelan disamping makam
Hana. Setahun telah berlalu. Mungkin sekarang Hana sudah berada disana,
ditempat dimana ia bisa mendapatkan kebahagiaan abadi.
“Han, udah setahun ini. Tapi gue
masih belum bisa lupain lo. Gue masih nyesel kenapa waktu itu gue ngga jenguk
lo, gue nyesel kenapa waktu itu gue harus melontarkan kata itu sampai bikin lo
marah” Aku benar-benar ingin menangis. Namun aku tak bisa, Hana pernah berkata
jika kita menangis diatas makan seorang, saat air mata itu terjatuh tepat
diatasnya maka orang yang meninggal tersebut akan merasa kesakitan, dan aku tak
ingin membuat Hana merasakan sakit kembali.
“Han, lo jahat membiarkan
persahabatan kita berakhir kayak gini? Kenapa saat terakhir bertemu lo harus
nangis? Kenapa lo harus nangis hanya karena gue Han? Harusnya lo balik lakuin
apa yang udah gue lakuin sama lo, bukan malah nangis? Kenapa harus gini?
Kenapa?” Suara ku mulai serak. Sepertinya percuma saja aku mengungkapkan semua
perasaan ku disini. Tak akan ada yang dengar pun hanya membuang tenaga ku saja.
Tapi aku merasa jiwa Hana berada disampingku. Bahkan aku merasa Hana sedang
memelukku begitu erat.
“Kenapa lo menghentikan mimpi gue
saat lagi sama lo didanau? Kalau gue tahu itu terakhir kalinya gue bareng lo, gue
ngga akan buang-buang waktu buat kejar-kejaran sama lo ditaman, gue ngga akan
membiarkan waktu berjalan begitu saja tanpa melakukan apapun sama lo, gue akan
peluk lo sekuat tenaga dan ngga akan gue lepas. Tapi sayang, lo udah pergi
sebelum gue sempat mendekap lo, Han” Air mata ku mulai mengalir satu persatu.
Namun dengan segera ku tahan agar tidak terjatuh dimakam Hana.
Ray
Suara lembut seorang memanggilku.
Namun aku tak ingin menghiraukan nya. Aku ingin tetap memandang makam Hana. Toh
mungkin saja itu teman-teman yang juga sedang ziarah kemakam Hana.
Ray..
Risih, aku menengok kebelakang.
Tak ada siapapun. Aku kembali fokus ke makam Hana. Aku tak ingin berfikir
macam-macam. Aku kesini hanya ingin mengungkapkan perasaan ku pada Hana.
Ray..
Lagi-lagi suara itu muncul. Aku
benar-benar risih. Teman-teman memang suka menjahili orang. Apakah mereka tak
tahu kalau ini adalah pemakaman dan kita tak boleh bercanda disini. Aku
menengok kebelakang lagi, ingin meneriaki mereka. Namun, mereka tak memunculkan
diri jadi kubiarkan saja. Toh mereka akan lelah dengan sendirinya.
Ray..
Aku menengok, dan dengan cepat
berdiri.
DEG! Aku kaget. Aku ingin sekali
berlari, namun aku pun juga ingin sekali menghampirinya. Dia, seorang gadis
yang tengah berdiri kokoh diantara beberapa kuburan sedang tersenyum padaku.
”Hana?” Suara ku bergetar. Bukan
karena apa-apa, tapi aku terkejut. Wajahku mungkin kini tengah menggambarkan
rasa senang, sedih, bahagia dan duka yang bercampur.
Dari kejauhan, wajahnya terlihat pucat
pasi. Ia berjalan mendekatiku dengan tangan yang kini mulai menjulur, senyum
tak sedikitpun terlepas dari wajahnya. Tubuhku bergetar, dan tangan ku kini pun
juga mulai meraih uluran tangan nya. Beberapa jarak lagi tangan kami akan
saling bertauatan. Apa maksud Hana
melakukan ini?
Saat itu, ingatan akan dunia ku
sedikit memudar. Yang kuingat hanya Hana, Hana, dan Hana. Aku tak tahu seberapa
dekat jarak diantara kami saat ini. Aku memejamkan mata sesaat sebelum
benar-benar tersadar karena ada yang memukul pundak ku dari belakang.
“Ray, ngapain lo berdiri? Tangan lo
juga kenapa? Kalo berdo’a sambil duduk kali!” Seru Anisa. Aku tergagap, bingung
dengan keadaan. Apa yang baru saja ku lakukan disini.
”Ha.. na?” Seru ku pelan, ingatan ku
sedikit mulai kembali.
“Hah? Hana? Ini Anisa, lo kenapa
sih?”
“Ha? Ee.. enggak. E.. elo sama
siapa? Sendirian?” Kini aku benar-benar ingat akan apa yang terjadi. Tadi,
sepertinya Hana ingin mengajakku kedunia nya. Beruntung Anisa datang dan
menyadarkan ku.
“Sama anak kelas. Pada mencar
sendiri-sendiri tadi pas dijalan. Bentar lagi juga datang. Dituggu didepan aja
yok. Jadi mistis sendiri nih gue disini” Kata Anisa menarik lenganku.
Aku kembali menengok ke makam Hana.
Diseberang sana sosok itu tak juga menghilang. Hana berdiri sambil tersenyum
dan melambai tangan padaku.
Hana,
semoga kamu tenang dan bahagia disana. Aku disini hanya bertugas untuk mendo’akan
yang terbaik untukmu. Aku menyayangi mu lebih dari segalanya. Do’akan aku, agar
aku dapat menguatkan diri, agar aku tak menangis lagi meski seberat apapun
keadaanya.
Aku membalas senyuman Hana. Sebisa
mungkin air mata yang kutahan tak terjatuh didepan pandangann Hana. Seiring
menjauhnya langkah ku dari nya, tubuh Hana mulai memudar, dan menghilang dari
keadaan. Selamat Tinggal Hana.
“Ray, cepetan dong jalan nya”
“Eh, Iya, Iya”
Tamat.
Terimakasih yang udah baca, follow twitter gue yah @MikiMizu_ sekalian IG gue @musyafaahdewi ^^